Seekor Anak Singa

Senin, 24 Juni 20130 komentar


Singa dan Kambing Alkisah,di sebuah hutan belantara ada seekor induk singa yang mati setelah melahirkan anaknya. Bayi singa yang lemah itu hidup tanpa perlindungan induknya. Beberapa waktu kemudian serombongan kambing datang melintasi tempat itu. Bayi singa itu menggerakgerakkan tubuhnya yang lemah.
Seekor induk kambing tergerak hatinya. Ia merasa iba melihat anak singa yang lemah dan hidup sebatang kara. Dan terbitlah nalurinya untuk merawat dan melindungi bayi singa itu. Sang induk kambing lalu menghampiri bayi singa itu dan membelai dengan penuh kehangatan dan kasih sayang.

Merasakan hangatnya kasih sayang seperti itu, sibayi singa tidak mau berpisah dengan sang induk kambing. Ia terus mengikuti ke mana saja induk kambing pergi. Jadilah ia bagian dari keluarga besar rombongan kambing itu.

Hari berganti hari, dan anak singa tumbuh dan besar dalam asuhan induk kambing dan hidup dalam komunitas kambing. Ia menyusu, makan, minum, bermain bersama anak-anak kambing lainnya.Tingkah lakunya juga layaknya kambing. Bahkan anak singa yang mulai berani dan besar itu pun mengeluarkan suara layaknya kambing yaitu mengembik bukan mengaum! la merasa dirinya adalah kambing, tidak berbeda dengan kambing- kambing lainnya. Ia sama sekali tidak pernah merasa bahwa dirinya adalah seekor singa.

Suatu hari, terjadi kegaduhan luar biasa. Seekor serigala buas masuk memburu kambing untuk dimangsa. Kambing-kambing berlarian panik. Semua ketakutan. Induk kambing yang juga ketakutan meminta anak singa itu untuk menghadapi serigala. 
"Kamu singa, cepat hadapi serigala itu! Cukup keluarkan aumanmu yang keras dan serigala itu pasti lari ketakutan!"Kata induk kambing pada anak singa yang sudah tampak besar dan kekar.
tapi anak singa yang sejak kecil hidup di tengah-tengah komunitas kambing itu justru ikut ketakutan dan malah berlindung di balik tubuh induk kambing. Ia berteriak sekeras-kerasnya dan yang keluar dari mulutnya adalah suara embikan. Sama seperti kambing yang lain bukan auman.
Anak singa itu tidak bisa berbuat apa-apa ketika salah satu anak kambing yang tak lain adalah saudara sesusuannya diterkam dan dibawa lari serigala. Induk kambing sedih karena salah satu anaknya tewas dimakan serigala. Ia menatap anak singa dengan perasaan nanar dan marah,
"Seharusnya kamu bisa membela kami! Seharusnya kamu bisa menyelamatkan saudaramu! Seharusnya bisa mengusir serigala yang jahat itu!"Anak singa itu hanya bisa menunduk.
Ia tidak paham dengan maksud perkataan induk kambing. Ia sendiri merasa takut pada serigala sebagaimana kambing- kambing lain. Anak singa itu merasa sangat sedih karena ia tidak bisa berbuat apa-apa.

Hari berikutnya serigala ganas itu datang lagi. Kembali memburu kambing-kambing untuk disantap. Kali ini induk kambing tertangkap dan telah dicengkeram oleh serigala. Semua kambing tidak ada yang berani menolong. Anak singa itu tidak kuasa melihat induk kambing yang telah ia anggap sebagai ibunya dicengkeram serigala. Dengan nekat ia lari dan menyeruduk serigala itu. Serigala kaget bukan kepalang melihat ada seekor singa di hadapannya. Ia melepaskan cengkeramannya.
Serigala itu gemetar ketakutan! Nyalinya habis! Ia pasrah, ia merasa hari itu adalah akhir hidupnya! Dengan kemarahan yang luar biasa anak singa itu berteriak keras,
“Emmbiiik!” Lalu ia mundur ke belakang. Mengambil ancang ancang untuk menyeruduk lagi.
Melihat tingkah anak singa itu, serigala yang ganas dan licik itu langsung tahu bahwa yang ada di hadapannya adalah singa yang bermental kambing. Tak ada bedanya dengan kambing.
Seketika itu juga ketakutannya hilang. Ia menggeram marah dan siap memangsa kambing bertubuh singa itu! Atau singa bermental kambing itu! Saat anak singa itu menerjang dengan menyerudukkan kepalanya layaknya kambing, sang serigala telah siap dengan kuda-kudanya yang kuat.
Dengan sedikit berkelit, serigala itu merobek wajah anak singa itu dengan cakarnya. Anak singa itu terjerembab dan mengaduh, seperti kambing mengaduh.
Sementara induk kambing menyaksikan peristiwa itu dengan rasa cemas yang luar biasa. Induk kambing itu heran, kenapa singa yang kekar itu kalah dengan serigala.
Bukankah singa adalah raja hutan?
Tanpa memberi ampun sedikitpun serigala itu menyerang anak singa yang masih mengaduh itu. Serigala itu siap menghabisi nyawa anak singa itu.
Di saat yang kritis itu, induk kambing yang tidak tega, dengan sekuat tenaga menerjang sang serigala.
Sang serigala terpelanting. Anak singa bangun.
Dan pada saat itu, seekor singa dewasa muncul dengan auman yang dahsyat. Semua kambing ketakutan dan merapat! Anak singa itu juga ikut takut dan ikut merapat.

Sementara sang serigala langsung lari terbirit-birit. Saat singa dewasa hendak menerkam kawanan kambing itu, ia terkejut di tengah-tengah kawanan kambing itu ada seekor anak singa.
Beberapa ekor kambing lari, yang lain langsung lari. Anak singa itu langsung ikut lari. Singa itu masih tertegun. Ia heran kenapa anak singa itu ikut lari mengikuti kambing? Ia mengejar anak singa itu dan berkata,
“Hai kamu jangan lari! Kamu anak singa, bukan kambing! Aku takkan memangsa anak singa!
Namun anak singa itu terus lari dan lari.Singa dewasa itu terus mengejar.
Ia tidak jadi mengejar kawanan kambing, tapi malah mengejar anak singa.
Akhirnya anak singa itu tertangkap. Anak singa itu ketakutan,
“Jangan bunuh aku, ammpuun!”
“Kau anak singa, bukan anak kambing. Aku tidak membunuh anak singa!”
Dengan meronta-ronta anak singa itu berkata,“Tidak aku anak kambing! Tolong lepaskan aku!” Anak singa itu meronta dan berteriak keras.
Suaranya bukan auman tapi suara embikan, persis seperti suara kambing. Sang singa dewasa heran bukan main. Bagaimana mungkin ada anak singa bersuara kambing dan bermental kambing.

Dengan geram ia menyeret anak singa itu ke danau. Ia harus menunjukkan siapa sebenarnya anak singa itu. Begitu sampai di danau yang jernih airnya, ia meminta anak singa itu melihat bayangan dirinya sendiri. Lalu membandingkan dengan singa dewasa.
Begitu melihat bayangan dirinya, anak singa itu terkejut,“Oh, rupa dan bentukku sama dengan kamu. Sama dengan singa, si raja hutan!”
“Ya, karena kamu sebenarnya anak singa. Bukan anak kambing!” Tegas singa dewasa.
“Jadi aku bukan kambing? Aku adalah seekor singa!”
“Ya kamu adalah seekor singa, raja hutan yang berwibawa dan ditakuti oleh seluruh isi hutan! Ayo aku ajari bagaimana menjadi seekor raja hutan!” Kata sang singa dewasa.

Singa dewasa lalu mengangkat kepalanya dengan penuh wibawa dan mengaum dengan keras. Anak singa itu lalu menirukan, dan mengaum dengan keras.
Ya mengaum, menggetarkan seantero hutan. Tak jauh dari situ serigala ganas itu lari semakin kencang, ia ketakutan mendengar auman anak singa itu. Anak singa itu kembali berteriak penuh kemenangan,
"Aku adalah seekor singa! Raja hutan yang gagah perkasa!” Singa dewasa tersenyum bahagia mendengarnya.

Saya berpikir, jangan-jangan kondisi sebagian dari kita mirip dengan singa itu. Sekian lama hidup tanpa mengetahui jati diri dan potensi terbaik yang dimiliki.
Betapa banyak manusia yang menjalani hidup apa adanya biasa-biasa saja, ala kadarnya, hidup dalam keadaan dibelenggu kebutuhan sendiri. Hidup dalam tawaran rasa malas, langkah yang penuh keraguan dan kegamangan.
Hidup tanpa semangat yang seharusnya. Hidup tanpa kekuatan nyawa terbaik yang dimilikinya.
Mari kita amati orang-orang di sekitar kita. Di antara mereka ada yang telah menemukan jati dirinya, hidup dinamis dan prestatif, melakukan sesuatu, berbuat kebaikan, sangat paham menjawab dari mana dia berasal, untuk apa dia hidup, dan bagaimana dia harus hidup. Hari demi hari di lalui dengan penuh semangat dan optimis. Detik demi detik yang dilaluinya adalah kumpulan kerja serta kebaikan, pretasi dan rasa bahagia. Semakin besar rintangan menghadapinya.

Namun, tidak sedikit pula dari mereka yang hidup apa adanya, tidak memiliki arah yang jelas, tidak paham untuk apa dia hidup dan bagaimana dia harus hidup . kita sering mendengar orang-orang yang ketika ditanya,
“bagaimana anda menjalani hidup anda? Apa prinsip hidup anda?”, lalu mereka menjawab secara filosofis,
“saya hidup bagaikan air mengalir, santai saja!”
Sangat disayangkan, mereka tidak benar-benar tahu filosofi”mengalir bagaikan air” tersebut.
Mereka memahami filosofi itu sebagai menjalani hidup dengan santai.
Sebenarnya, jawaban itu mencerminkan bahwa mereka tidak tahu cara mengisi hidup, cara menjalani hidup yang berkualitas.

Alasannya? Mereka tidak tahu siapa diri mereka sendiri. Potensi terbaik apa yang telah dikaruniakan Allah kepada mereka.

Bisa jadi,mereka sebenarnya adalah seekor singa,tetapi karena ketidaktahuan, mereka menganggap dirinya adalah seekor kambing hanya karena selama ini hidup di antara kawanan kambing. Bisa dibilang filosofi hidup bagaikan air mengalir masih merupakan prototype sebagian masyarakat kita.
Bahkan, bisa jadi adalah gaya hidup sebagian umat muslim di dunia. Ketika pulang ke kampung halaman, kita kadang melihat lambatnya perubahan yang terjadi.
Cara berpikir masyarakat masih sama. Cara hidupnya pun masih sama. Mungkin ada perubahan, tetapi terasa lambat. Ada pak anU yang masih berjualan es campur dari saat kita kecil sampai kini sudah menikah dan memiliki anak. Ada mas anU yang dulu berjualan bakso, sekarang pun masih menjual bakso.
Bahkan, sebagian teman kita yang dulu ketika di bangku SD terlihat begitu rajin dan cerdas, yang dulu pernah bercita-cita menjadi ini dan itu, setelah sekian tahun berlalu ternyata jauh panggang dari api.
Orang- orang yang dulu hidup memprihatinkan, ternyata sebagian besar masih hidup memprihatinkan,ternyata sebagian besar masih hidup memprihatinkan.
Mengapa tidak ada perubahan? Jawabannya karena mereka tidakmau berubah.
Mengapa tidak mau beerubah?
Jawabannya karena mereka tidak tahu bahwa mereka harus berubah.
Bahkan, kalaupun tahu bahwa mereka harus berubah,mereka tidak tahu bagaimana caranya berubah.
Mengapa mereka tidak tahu cara berubah? Karena mereka terbiasa hidup pasrah,hidup tanpa rasa berdaya dalam keluh kesah.
Cara hidup seperti itu terus diwariskan turun- temurun.

Bahkan, saking putus asanya melihat mental anak bangsa Indonesia, seorang sastrawan berucap, AKU MALU JADI ORANG INDONESIA! Di banyak tempat, kita masih menemukan orang- orang bermental lemah,hidup apa adanya, dan tidak terarah. Parahnya, sebagian besar “penyakit” lemah mental ini adalah penyakit yang dibentuk.
Biasanya, dibentuk oleh lingkungan yang bahkan telah dilakukan saat masa kanak-kanak sehingga makin terlihat saat dewasa.
Saat menunjukkan kekecewaan, penolakan, bahkan ketidaksetujuan terhadap keinginan anak, terkadang orangtua mengungkapkannya dengan cara yang salah dan mengeluarkan kalimat-kalimat negative,misalnya anak bodoh, pemalas, kebluk, dan seterusnya.
Hasilnya, dia menjadi pemalas, bodoh, dan kebluk. Sebagian orangtua juga nyaris tidak bisa melepaskan belenggu melemahkan mental anak. Tak banyak anak yang setiap hari tidak disalahkan. Tak banyak anak yang setiap hari dihargai sebagaimana manusia yang memilih ruh, buka robot yang gampang diperintah.
Ketika sudah kuliah, sebagian di antara mereka juga tidak tahu mengapa mereka memilih jurusan A dan untuk apa mereka memilih jurusan tersebut.
Pokoknya, asal kuliah dan meraih gelar sarjana lalu dapat kerja, bukan untuk mencerahkan pikiran dan menghayati kesarjanaan kehidupan itu sendiri.

Orang-orang kemudian menjadi “rabun” dan tidak tahu potensi terbaik yang diberikan Allah kapadanya; orang-orang yang rela ditindas dan dijajah kesengsaraan dan kehinaan.
Padahal, sebenarnya jika mereka mau, pasti bisa hidup merdeka,berwibawa, dan sejahtera. Tak terhitung betapa banyak masyarakat kita yang bermental kambing,padahal mereka adalah singa.
Banyak yang minder dengan bangsa lain.
Padahal, bangsa ini adalah bangsa yang besar, umat ini adalah umat yang besar.
Bangsa ini sebenarnya adalah sriwijaya yang perkasa menguasai nusantara.
Juga, sebenarnya Majapahit yang digdaya dan berkuasa.
Lebih dari itu, bangsa ini merupakan pemeluk agama islam terbesar di dunia. Ada dua ratus juta umat islam di negeri tercinta ini.
Banyak yang tidak menyadari maknanya. Dua ratus juta umat Islam di Indonesia berarti ada dua ratus juta singa. Penguasa belantara dunia.
Sayangnya, masih ada di antara dua ratus juta singa ini yang bermental kambing dan berperilaku layaknya kambing.
Bukan layaknya singa! Lebih memprihatinkan lagi, ada yang sudah menyadari dirinya adalah seekor singa, tetapi memilih tetap menjadi kambing.
Hanya karena terbiasa menjadi kambing, dia malu menjadi singa! Malu untuk maju dan berpretasi.
Parahnya, mereka yang memilih tetap menjadi kambing, menginginkan yang lain tetap pula menjadi kambing.
Mereka tidak ingin orang lain menjadi singa.
Bahkan, mereka ingin orang lain menjadi kambing yang lebih bodoh!

Marilah kita hayati diri kita sebagai seekor singa. Allah telah memberi predikat kepada kita sebagai umat yang terbaik di muka bumi ini. Marilah kita pupuk mental itu.Jangan bermental seperti umat yang terbelakang.

“kalian adalah sebaik-baik umat yang dilahirkan untuk manusia karena kalian menyuruh berbuat yang makruf,mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.”(Q.S.Ali Imran [3]: 110)
****

*dikutip dari Novel best seller karya "Habibburahman el-shirazy" Ketika cinta bertasbih.
Share this article :
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. RESONANSI - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger